INDOPOLITIKA – Jagad politik Indonesia tiba-tiba diguncang ekspresi politik terbuka para purnawirawan jendral dan perwira tinggi yang menekan Presiden Prabowo untuk memenuhi tuntutan politiknya, yang salah satunya dan bahkan muaranya adalah menuntut wakil presiden Gibran dimkazulkan dengan dalih melanggar konstitusi.
Mengapa tiba tiba sekelompok purnawirawan ini menuntut Wapres Gibran diganti di Tengah Presiden Prabowo dan segenap bangsa sedang mengkonsolidasi integrasi politik demi mengatasi berbagai tindak pidana korupsi dan tekanan krisis ekonomi dunia agar rakyat Indonesia bisa hidup Sejahtera.
Mengapa para purnawirawan ini tidak peka dan tidak peduli dengan kondisi bangsa yang mendesak dan krusial ketimbang membuat kegaduhan? Ketika mencoba dilacaki latar belakang pemicu timbulnya tuntutan politik para purnawirawan ini, dicoba dicari informasi siapa kiranya tokoh inisitor dari tuntutan ini? ditemukanlah bahwa Jendral Purn Fachrul Rozi, mantan Menteri Agama era Jokowi yang dipecat yang menjadi inisiatornya.
Didukung kuat oleh Mayjend Purn Soenarko, mantan komandan jendral kopassus yang senantiasa bersebrangan dan sekaligus pengkritik keras Jokowi.
Melihat representasi kedua tokoh ini, publik mulai mafhum kenapa mereka menutut Wapres Gibran diganti. Dan latar belakang lahirnya tuntutan ini semakin jelas kala dikaitkan dengan residu pilres yang ternyata kedua tokoh ini adalah pendukung capres Anies Baswedan yang merupakan lawan politik Presiden Prabowo.
Substansi Demokrasi
Sejatinya di sebuah negeri yang menganut sistem demokrasi, ekspresi politik rakyat mendapat ruang kebebasan yang luas. Merek boleh menyampaikan pandangan politiknya termasuk menuntut penggatian wakil presiden. Namun ekspresi politik itu harus patuh pada tatanan konstitusi dan aturan demokrasi.
Menyampaikan usulan politik harus mengacu pada aturan konstitusi dan demokrasi yang ada, diantaranya harus ada sebab yang dilakukan wapres Gibran seperti pelanggaran hukum, pengkhianatan pada bangsa dan negara. Namun jika tidak ditemukan alasan pemakzulan maka hal itu tidak boleh dilakukan karena akan menghancurkan kostitsui dan sistem demokrasi.
Ketika para purnawirawan itu memaksakan pemakzulan Gibran maka akan membawa rakyat mengenang watak para purnawirawan yang dikaitkan dengan perilaku politik orde baru yang otoriter yang terbiasa suka melakukan Tindakan refresif terhadap rakyat.
Mencermati ekspresi para punawirawan ini telah menimbulkan kebingungan dan pertanyaan. Sebenarnya apa yang sedang dituju oleh mereka. Namun sekelumit informasi bisa dihubungkan dengan kiprah politik mereka selama ini terutama terkait dengan pilpres 2024 lalu.
Jika melihat langkan politik mereka di pilpres, maka dapat disimpulkan bahwa ekspresi politik mereka lebih kuat disebabkan kekalahan pilpres. Mereka adalah para pendukung Anies Baswedan yang menjadi pesaing Prabowo Soebianto pada pilpres 2024.
Tututan mereka lebih terlihat kental sebagai kelanjutan dari residu politik pilpres. Maka bisa dimaklumi bahwa sejatinya tuntutan politik mereka bukanlah sebagai tuntutan sebagai kawan Prabowo tapi sebaliknya yakni lawan politik Prabowo. Namun mereka mengemasnya dengan halus. Bisa saja Langkah politik mereka dawali dengan tuntutan penggantian wakil presiden yang ujungnya jika ada peluang akan memucak pada gerakan pemkazulan Presiden Prabowo Soebianto.
Sikap Oposisi Yang Tidak Kreatif dan Membosankan
Melihat tututan para purnawirawan ini, terlihat bahwa tututan mereka terkesan semaunya, egois, merasa kuat dan memkasakan diri. Tidak peduli dengan fokus utama pemerintahan Prabowo yang sedang berjuang mensejahterakan rakyat lewat berbagai macam program yang dibutuhkan rakyat.
Para purnawirawan ini malah fokus pada sentiment akibat kekalahan pilpres. Tidak peduli terhadap kebutuhan rakyat. Lebih peduli pada ambisi dan mimpi politik untuk meraih manisnya kekuasaan
Rakyat tentu butuh kehadiran kekuatan oposisi tapi yang dibutuhkan adalah oposisi yang kreatif-konstruktif yang menawarkan alternatif gagasan dan program yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dan integrasi bangsa. Bukan oposisi yang setiap hari hanya membangun narasi, memanipulasi informasi dan ekpresi sentimentil dramatis karena kalah pilpres.
Ragam ekspresi politik oposisi yang tidak kreatif, penuh drama dan sentimentil ini bukan saja tidak mampu menarik perhatian dan minat rakyat tapi lebih dari itu yakni ekspresi politik mereka terlihat MEMBOSANKAN.
Opisisi Egois dan Minim Sikap Altruis
Rakyat menyaksikan tingkah polah opisisi yang terkesan egois. Sibuk membangun narasi dan manaipulasi informasi sekedar untuk mendegradasi lawan politik. Yang paling penting bagi oposisi adalah bagaimana terpenuhinya dahaga kebencian atas lawan politik bukan bagaimana mengawal realisasi program kerakyatan agar berjalan dengan baik dan terpeliharanya Integrasi.
Oposisi tidak peduli dengan program kerakyatan dan integrasi bangsa tapi lebih peduli pada pemenuhan ambisi dan kebencian.
Di luar tuntutan pemakzulan Gibran. Berulang ulang ulang oposisi sibuk bicara mempergunjingkan Ijzah palsu Jokowi. Menunjukkan sikap post truth yakni tidak percaya kepada kebenaran penjelasan lembaga yang sah secara hukum yang menyatakan ijazah Jokowi asli.
Mereka membangun ilusinya sendiri. Kebenaran dan keabsahan institusi UGM dicoba diruntuhkan dengan narasi dan ilusi. Sungguh sebuah ekspresi politik oposisi yang tidak mendidik rakyat dan merusak tatanan nilai-nilai kebenaran.
Berulang oposisi berusaha mengadu domba Prabowo dengan Jokowi. Dibangun narasi dan opini bahwa adanya matahari kembar yakni Prabowo sebagai presiden yang berkuasa dengan Jokowi sebagai mantan presiden yang cawe-cawe.
Memprovokasi keduanya dengan harapan agar terjadi perpecahan politik antara keduanya. Berharap cepat atau lambat bisa melemahkan posisi politik Prabowo untuk kemudian berpeluang memenuhi ambisi politik mereka dengan mengambil alih keuasaan. Menggantikan Prabowo dengan calon presiden jagoannya.
Sikap politik oposisi semacam ini jauh dari aspirasi-kehendak mayoritas rakyat. Maka wajar Gerakan politik mereka tidak didukung mayoritas rakyat karena tidak terkoneksi dengan peraasan rakyat. Terasa menjauh dari harapan rakyat bahkan berlawanan dengan kehendak dan harapan mayoritas rakyat.
Sejatinya sikap politik yang tidak jujur dan manipulative cermin sikap politik egois. Sikap opisis semacam ini adalah sikap politisi kikir, bertolak belakang dengan karakter altruis yang ditekankan oleh Thomas Lickona, ahli Pendidikan karakter.
Bahkan bertolak belakang dengan sikap politik Nabi Muhammad yang menekankan pentingnya berpolitik mulya. Bukan politik untuk memperoleh keutungan pribadi atau kelompok tapi lebih mengutamakan berpolitik yang dermawan yang bisa memberi manfaat bagi banyak rakyat. Bagi bangsa dan negara.
Sikap politik opisisi Indonesia hari ini adalah cerminan politik politisi pemalas yang ingin berkuasa hanya dengan medskreditkan dan mendowngrade lawan. Oposisi yang tidak kreatif menawarkan ide-gagasan yang memikat hati rakyat.
Oposis yang egois, semaunya, kikir dan tidak altruis. Sungguh ini adalah sikap politisi oposisi yang membosankan. Rakyat tidak membutuhkan sikap politik oposis semacam ini.
Sejatinya raktyat menunggu dan membutuhkan karakter politisi opisisi yang cerdas, kreatif-kontruktif dan altruis bukan politisi pamalas, naif, cengeng dan sintementil. Namun apesnya malah oposisi itu merasa paling pinter, paling benar dan paling layak untuk berkuasa. Inilah Nasib buruk yang harus ditanggung rakyat Indonesia. (***)
Penulis: Hasanudin Hamami, Ketua Umum Jaros & Tenaga Ahli DPRD Provinsi Banten
Tinggalkan Balasan