INDOPOLITIKA.COM– Keberadaan pasal santet dalam RKUHP cukup kontroversi di masyarakat. Bukan saja karena masalah pelakunya diancam pidana penjara. Lebih dari itu, dari sisi teknis hukum pembuktinya pun diperdebatkan. Dukun santet bagaimanapun menjadi bagian organis masyarakat Indonesia sejak lama.
Penulis legendaris seperti Pramoedya Ananta Toer pernah membuat cerita soal Calon Arang, dukun santet wanita cantik di Bali. Jika dilegalkan, pasal santet akan melahirkan fobia berujung persekusi dikalangan masyarakat.
Kita ambil contoh kasus terbaru misalnya. Pada Desember 2015, seorang laki-laki bernama Munir di desa Pangereman Barat, Kecamatan Batumarmar, Pemekasan, meregang nyawa setelah dikeroyok warga. Ia dianggap dukun santet. Warga menolak bersaksi di pengadilan, meski pembunuhan terjadi di depan mereka. Sebelum kasus Munir, pembunuhan terhadap dukun Santet juga pernah terjadi kisaran tahun 1998 di Banyuwangi dan Pangandaran tahun 1999.
Dari contoh kecil ini bisa ditarik benang merah, tanpa pasal yang menjerat dukun santet saja sudah begitu banyak tindakan main hakim sendiri dikalangan masyarakat. Bagaimana kalau legal hukumnya disahkan. Maka tentu saja hadir yang namanya ‘fobia berujung persekusi’.
Polisi harus diakui cukup handal dalam mengungkap kasus. Salah satu yang terbaru, kasus penyebaran video dan foto syur, oknum guru di salah SMK Purwakarta, Jawa Barat. Belum sehari, polisi langsung mengamankan pelakunya, yang diketahui RIA (31) selingkuhan RJ (30).
Namun, mengungkap pelaku santet bahkan diakui Majelis Ulam Indonesia (MUI), rumit dibuktikan. Santet memang ada dan nyata terjadi ditengah masyarakat. “Tapi apa kemudian bisa gejala itu menjadi bukti? Itu problem, itu tantangan bagi polisi dan jaksa bagaimana membuktikannya, jangan sampai kemudian menjadi fitnah. Ini perlu kajian yang mendalam, perlu pemahaman, perlu persepsi, perlu definisi, ini yang kemudian harus menjadi clear,” jelas Ikhsan.
Selain perlu ada pembahasan dan kajian mendalam terhadap sejumlah pasal, lanjut Ikhsan, RKUHP ini juga harus lebih gencar disosialisasikan ke masyarakat sebelum disahkan. “Jangan sampai kemudian (informasi) yang diterimanya sepotong-sepotong akhirnya melawan masyarakat. Jadi ini masalahnya sosialisasi,” ujar Ikhsan.
Diketahui, santet diatur dalam Pasal 252 RKUHP. Pada ayat 1 menjelaskan bahwa sanksi pidana terhadap pelaku santet yakni penjara paling lama tiga tahun. Pelaku juga bakal dikenai denda kategori IV atau sebesar Rp 200 juta.
Sementara dalam Pasal 252 ayat 2 mengatur bahwa hukuman bagi pelaku santet bisa diperberat jika orang itu melakukan santet untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 masa hukuman.[asa]
Tinggalkan Balasan