INDOPOLITIKA – Pekan ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib DPR (TATIB DPR) yang memberikan kewenangan baru mengevaluasi secara berkala dan merekomendasikan pencopotan pimpinan lembaga atau pejabat yang sudah menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR sebagaimana termaktub dalam Pasal 228A. YLBHI menilai, Revisi TATIB DPR ini, membahayakan dan merusak tatanan negara hukum dan demokrasi di Indonesia.

“Secara yuridis normatif, TATIB DPR ini bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan Undang – Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD serta patut dicurigai sebagai upaya untuk mengacaukan check and balances /keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara dalam kerangka negara hukum demokratis,” ungkap YLBHI melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (7/2).

 

Dalam konteks ini, YLBHI menyebut TATIB DPR akan berdampak pada pejabat pada beberapa lembaga negara, diantaranya adalah lembaga kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung maupun Komisi Pemberantasan Korupsi maupun lembaga-lembaga demokrasi seperti, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

 

Atas persoalan ini YLBHI memberikan catatan buruk terhadap revisi TATIB DPR tersebut, diantaranya:

 

1. Ketentuan revisi tata tertib DPR melampaui kewenangan pengawasan DPR RI

 

Bahwa berdasarkan Pasal 185 jo Pasal 190 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) yang mengatur tentang Pengajuan dan Pemberian Persetujuan atau Pertimbangan atas Calon untuk pengisian jabatan, DPR RI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi di tengah jalan maupun memberhentikan sejumlah pimpinan lembaga atau pejabat negara yang telah dipilih DPR melalui rapat paripurna. Menambah kewenangan melalui tata tertib adalah tindakan melampaui kewenangan. lebih mendasar dari itu pengesahan TATIB DPR yang direvisi ini merupakan tindakan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige over heids daad) karena diyakini bertentangan dengan Undang-undang MD3;

 

2. Menghancurkan pondasi sistem ketatanegaraan dengan mencampuri cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif

 

Bahwa Indonesia menganut prinsip demokrasi yang memisahkan antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiganya tidak saling mencampuri namun saling mengawasi untuk menciptakan check and balances/keseimbangan berdasarkan hukum. Terlebih kekuasaan yudikatif yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan institusi yang dijamin independensinya dan kemerdekaannya. Namun dengan TATIB DPR ini, kekuasaan yudikatif bisa terancam runtuh dengan masuknya intervensi DPR mengganti hakim-hakim di MK dan MA dengan dalih menjalankan fungsi pengawasan DPR. Di sisi lain masuknya intervensi DPR terhadap pejabat yang dipilih DPR melalui rapat paripurna di DPR terasa aroma politis dibanding meningkatkan kinerja mitra kerja DPR. Faktanya, intervensi DPR sudah pernah terjadi saat pencopotan hakim konstitusi Aswanto secara ilegal pada akhir September 2022.

 

3. Jika diterapkan akan mengakibatkan Kekacauan Sistem Ketatanegaran dan ketidakpastian hukum kepada pemegang jabatan diberbagai lembaga

 

TATIB DPR akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian dalam sistem ketatanageraan yang menganut sistem check balances kekuasaan lembaga negara. Menambah kewenangan baru evaluasi dan pemberhentian pejabat pada lembaga negara yang lain akan membuat DPR seolah memiliki kewenangan lebih tinggi dibandingkan lembaga negara yang lain. Apalagi dapat mengangkat dan memberhentikan pimpinan lembaga negara dicabang kekuasaan lain kapanpun tanpa ukuran yang jelas. Hal ini tentu bertentangan dengan sistem demokrasi konstitusional yang menganut pemisahan kekuasaan yang setara antar cabang kekuasaan untuk dapat saling mengawasi.

 

4. Dalih menutupi kinerja DPR yang bobrok

 

Bahwa beberapa studi menyampaikan kinerja legislasi DPR sejauh ini masih dibawah target. Begitu juga kinerja pengawasan masih tidak terlihat taringnya dihubungkan dengan buruknya kinerja lembaga-lembaga yang jadi mitra DPR. Padahal DPR memiliki berbagai hak istimewa sebagai instrumen pengawasan yang dapat digunakan seperti penggaran, interpelasi, angket maupun pendapat. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir Kepolisian dan TNI yang masih menjadi lembaga negara yang dominan menampilkan wajah kekerasan dan pelaku korup. Tragisnya DPR menutup mata terhadap pelanggaran HAM di Papua yang melibatkan institusi keamanan, termasuk pengiriman personil aparat keamanan ilegal. Padahal mobilisasi aparat keamanan terutama TNI ke Papua harus didasari oleh keputusan politik negara yang disepakati antara pemerintah dan DPR, bukan seperti terjadi saat ini, hanya diputuskan pemerintah tanpa ada peran DPR.

 

Beragam persoalan di atas pengesahan TATIB DPR ini sangat bertolak belakang dengan pentingnya DPR menyusun regulasi yang memastikan ruang aspirasi dan mekanisme kontrol rakyat atas implementasi terhadap aspirasi yang disampaikan publik bisa terealisasi. Bahkan terhadap lemahnya kinerja DPR yang gagal menjalankan aspirasi publik, semestinya anggota DPR harus berani mengatur sistem recall atau pemberhentian oleh rakyat/ konstituten dan digantikan oleh anggota DPR lainnya dalam satu daerah pemilihan. Namun, Sayangnya DPR yang berasal dari berbagai partai politik sebagai institusi yang memiliki kewenangan tampaknya enggan diprotes atau dikritik apalagi untuk mengatur sistem reccal tersebut.

 

Berdasarkan hal diatas YLBHI mendesak kepada DPR RI untuk membatalkan ketentuan baru dalam tata tertib tersebut dan menuntut DPR RI untuk minta maaf kepada publik. YLBHI juga mengingatkan Wakil-wakil Partai Politik yang duduk di DPR RI untuk tidak sewenang-wenang dalam menyusun peraturan internal ilegal yang bertentangan peraturan per UU an, prinsip demokrasi dan negara hukum. [Ind]

 

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com