INDOPOLITIKA.COM – Kematian George Floyd memantik kemarahan warga dunia. Gelombang protes muncul di mana-mana, dengan tuntutan agar aparat bersikap lebih adil dan tidak rasis terhadap orang sipil.

Protes juga muncul dari Indonesia. Meski tak ada demonstrasi di jalanan, mereka bersuara di media sosial. Di antara sekian banyak protes itu, ada yang mengaitkannya dengan situasi orang-orang Papua selama bertahun-tahun: mereka juga diperlakukan rasis dan direpresi aparat.

Anggota DPD RI Asal Papua Yorrys Raweyai mencermati kejadian tersebut, serta berbagai polemik yang mengemuka. Meski menjadi musuh bersama, rasisme memang sepertinya masih menjadi persoalan akut di hampir negara-negara di dunia termasuk di Indonesia.

Bahkan, menurutnya, seiring dengan kebijakan negara-negara modern untuk melawan rasisme, sejumlah peristiwa yang serupa sesungguhnya masih menjadi realitas yang terkadang disadari atau tidak.

Yorrys pun kembali mengingatkan kejadian pada tahun 2019, publik dihebohkan oleh demonstrasi besar-besaran diiringi kekerasan yang dipicu oleh perbuatan rasisme yang dialamatkan kepada sekelompok mahasiswa asal Papua dan Papua Barat yang sedang menimba ilmu di tanah jawa.

“Unjuk rasa merebak di sebagian wilayah di Indonesia, hingga di Papua dan Papua Barat,” kata Yorrys di Jakarta, Kamis (4/6/2020).

Terelepas dari proses hukum yang telah berlangsung, kata Yorrys, sepatutnya mewaspadai suasana psikologis publik Papua yang setiap saat bisa tersulut oleh situasi yang terkadang menjadikan mereka sebagai objek perlakuan rasis. Bukan hanya dari pihak aparat keamanan, tapi juga dari sesama anak bangsa sendiri.

Apalagi, kata Yorrys, dalam suasana pandemi COVID-19, pemerintah telah menugaskan aparat keamanaan (Polri) bekerjasama dengan aparat TNI untuk turut mendisiplinkan masyarakat. Tugas tersebut tentu tidaklah mudah. Memerlukan kesabaran dan kejelian dalam merespons persoalan dan perilaku masyarakat di lapangan.

Bagi masyarakat Papua, lanjut Ketua MPR For Papua ini persentuhan dengan aparat keamanan, baik dari Pihak Kepolisian maupun TNI bukanlah hal yang baru untuk masyarakat Papua. Sebagai wilayah yang memang selalu dirundung masalah keamanan dan ketertiban, masyarakat Papua sudah terbiasa dengan pemandangan kekerasan dan aksi-aksi aparat dalam menangani persoalan.

Hanya saja, ia meminta tindakan-tindakan tersebut tidak boleh menyisakan tindakan rasis, atau menyinggung kondisi dan situasi yang sedang dialami masyarakat Papua itu sendiri.

“Kesabaran dan kejelian dalam menangani persoalan masyarakat Papua sangat dibutuhkan, agar tidak memunculkan luka dalam perasaan mereka yang notabene bagian dari anak bangsa sendiri,” tegasnya.

Yorrys juga mengharapkan kepada seluruh komponen bangsa agar tidak terpancing isu-isu luar yang justru menjadi pintu masuk dalam memecah belah persatuan dan kesatuan. Tindakan kejahatan atas nama apapun harus ditangani secara baik dan profesional sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Saya juga menghimbau kepada seluruh masyarakat Papua dan Papua Barat di manapun berada untuk saat ini berusaha menjalin kebersamaan demi menguatkan kita menghadapi situasi pandemi COVID-19 yang telah menguras energi sosial-kemasyarakatan kita. Saatnya untuk bersatu padu dan bergandengan tangan. Sebagai negara yang besar, persatuan dan kesatuan menjadi kekuatan sekaligus kelemahan saat kita lengah,” paparnya.

Apapun alasanya, kata Yorrys, rasisme adalah musuh bersama, musuh kemanusiaan. Apapun bangsa, ideologi dan agamanya, rasisme adalah ancaman.

“Kita memiliki budaya dan nilai luhur kegotongroyongan yang diwariskan oleh para leluhur. Sejatinya, budaya dan nilai itulah yang menjadi pedoman dan penguat kita dalam menghadapai segala situasi dan kondisi, serta ancaman dalam berbagai bentuk dan wujudnya,” tandasnya. [rif]

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com