INDOPOLITIKA – Izin ekspor pasir laut yang dilarang pemerintah sejak 20 tahun lalu oleh Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, diubah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).  

Melalui PP Nomor 26 Tahun 2023, Jokowi kembali membuka keran ekspor pasir laut. Kebijakan ini pun menimbulkan banyak penolakan terutama dari organisasi lingkungan, seperti Greenpeace, Walhi, mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti, hingga para nelayan sendiri. 

Meski ditentang, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari ekspor pasir laut bisa mencapai triliunan rupiah. 

Direktur Penerimaan Bukan Pajak Kementerian/Lembaga Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Wawan Sunarjo mengatakan untuk pemanfaatan pasir dalam negeri saja, PNBP yang didapat bisa mencapai Rp2,5 triliun. 

Angka itu mengacu pada harga patokan pasir laut yang diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut dalam Perhitungan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. 

Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, secara tegas menolak kebijakan pemerintah yang kembali mengizinkan ekspor pasir laut.  

Menurutnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang menjadi dasar hukum kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Kelautan. 

Dalam rilis yang diterima Parlementaria, Pitaloka mengungkapkan adanya indikasi kuat bahwa PP tersebut disusun untuk memuluskan rencana ekspor pasir laut. 

“Ada tujuh lokasi yang sudah ditargetkan untuk pengerukan pasir, termasuk Demak, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Karawang, dan beberapa pulau di Kepulauan Riau,” kata Rieke Diah Pitaloka, dalam keterangan tertulisnya dikutip, Jumat (27/9/2024). 

Rieke mempertanyakan alasan di balik pemilihan lokasi-lokasi tersebut.  

“Kenapa lokasi-lokasi ini yang dipilih? Apakah ada kajian mendalam mengenai dampak lingkungan dan sosialnya?” tanyanya. 

Lebih lanjut, Pitaloka menjelaskan bahwa PP Nomor 26 Tahun 2023 mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Dasar, yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintah.  

Namun, menurutnya, kewenangan tersebut harus digunakan secara bijaksana dan tidak bertentangan dengan tujuan negara. 

“Undang-Undang Kelautan tidak mengatur secara detail mengenai sedimentasi. Namun, PP ini seolah-olah memberikan justifikasi untuk melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam kita,” tegas Rieke. 

Dia juga menyoroti sejumlah peraturan menteri yang dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari PP tersebut, yang menurutnya semakin memperkuat dugaan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memfasilitasi kepentingan bisnis tertentu. 

“Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini dan menghentikan segala aktivitas ekspor pasir laut yang berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat,” pungkas Rieka. [Red] 

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com