INDOPOLITIKA.COM – Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi menyatakan pihaknya tidak bermaksud melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi melalui draf Rancangan Undang-undang Penyiaran yang kini sedang ditunda pembahasannya.

Bobby menjelaskan Komisi I DPR ingin eksklusivitas penayangan konten jurnalisme investigasi diatur sehingga menguntungkan lembaga penyiaran.

“Jurnalistik investigasi itu dilarang, bukan,” ujar Bobby dalam diskusi bertajuk ‘Menakar Urgensi RUU Penyiaran’ yang digelar Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Ampera, Jakarta Selatan, Jumat (14/6) petang.

Politikus Partai Golkar ini mengungkapkan Komisi I DPR berniat mengatur investigasi eksklusif melalui hak siar atau publisher right. Dengan demikian, menurut dia, produksi berita akan bisa lebih variatif dan menguntungkan lembaga siar.

“Kita ini kan ingin bahwa pers memiliki yang di daerah di mana-mana ada punya publisher rights atau hak siar atau dia itu dilindungi, sehingga produksi berita itu akan menjadi lebih variatif, lebih banyak dan kalau ditayangkan di platform digital yang bikin berita pertama dapat uang. Bagus toh ini publisher rights,” ujarnya.

Ia menambahkan pengaturan dalam draf RUU Penyiaran juga ditujukan agar tidak ada konten investigasi sensitif seperti kasus hukum maupun terorisme yang disiarkan platform digital seperti Netflix dan sejenisnya.

“Nah, kalau terhadap suatu kasus gampang saja lah, Kopi Sianida, kan sekarang ada filmnya. Filmnya ditayangkan di mana? Di Netflix, bukan di tempat lain. Nah, kalau di Netflix apa? Tangan kita enggak bisa menjangkau. Kalau yang seperti ini gimana dong? Kasus hukum sudah diputuskan, ada filmnya, kronologisnya ada, pandangan-pandangannya (dalam film), ini bisa berbahaya membuat publik tidak percaya sistem hukum kita,” katanya.

Sementara itu, praktisi hukum Viktor Santoso Tandiasa menambahkan jangan sampai antara niat dengan norma yang dituangkan berbeda. Ia menegaskan niat dan aturan yang dibuat nantinya harus sama-sama baik.

“Ini yang perlu kita kawal bersama-sama. Jangan sampai dari niat baik itu kemudian dituangkan menjadi norma dan normanya menjadi tidak baik,” ucap Viktor.

“Bagaimana melihatnya? Saat mempunyai niat baik atau political will yang baik, mana kemudian norma itu tentunya secara jelas dan tidak multitafsir. Harus jelas penyampaian niat itu,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, praktisi hukum Deolipa Yumara mengkritik aturan yang termuat dalam draf RUU Penyiaran, terutama mengenai kata ‘ekslusif’ dalam jurnalisme investigasi.

Menurut dia, hal itu membuat bingung masyarakat dan jurnalis.

“Ternyata ada kata-kata eksklusif, tapi eksklusifnya enggak dibahas. Gimana kalau kita tidak tahu? Jadi, ini adalah kata-kata yang multitafsir,” kata Deolipa.

Ia menyampaikan kerja-kerja jurnalistik dominan dengan investigasi. Untuk itu, ia mengingatkan DPR melalui RUU Penyiaran tidak melarang jurnalis untuk melakukan kegiatan investigasi dan menyiarkannya.

“Kerja pers itu 90 persennya adalah investigasi, 10 persen sisanya menyiarkan, kan gitu,” katanya.

Deolipa menambahkan DPR harus cermat ketika merumuskan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, ia mengatakan kerja-kerja jurnalistik sudah diatur melalui UU Pers, dan sudah ada UU ITE yang mengancam jurnalis juga.

“Undang-undang ITE ada, selesai urusan. Siapa lagi yang dikejar? Kalau yang dikejar penyiaran, penyiaran juga bagian dari pers,” kata Deolipa.

Turut hadir dalam agenda diskusi tersebut Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Handoko Agung Saputro, dan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana melalui rekaman Zoom.(red)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com