INDOPOLITIKA.COM – Persatuan Ummat Islam (PUI) menyambut baik penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk Ahmad Sanusi, pendiri PUI asal Sukabumi yang juga merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Ketua Majelis Syura PUI Ahmad Heryawan berharap gelar pahlawan nasional untuk Ahmad Sanusi menjadi motivasi bagi generasi muda untuk menghidupkan jiwa kepahlawanan dan ketangguhan dalam kehidupan sehari-hari.

“Keteladanan penting yang dicontohkan oleh Ajengan Sanusi antara lain adalah kesediaan berkorban demi mengedepankan kepentingan kolektif. Tentunya ini sangat relevan untuk melejitkan partisipasi generasi muda masa kini dalam berbakti bagi umat dan bangsa,” tegas Ahmad Heryawan dalam konferensi pers di gedung PUI, di Jakarta, Jumat (4/11/2022).

Dikutip dari buku “Pendiri, Tokoh Fusi, dan Tokoh PUI” oleh Munandi Saleh, diceritakan Ahmad Sanusi adalah salah seorang ulama pendiri PUI setelah Abdul Halim. la lahir di Sukabumi pada 12 Muharram 1306 Hijriah atau 18 September 1888.

Sejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga yang religius. Di lingkungan keluarga inilah ia mendapat pendidikan agama Islam yang begitu ketat sehingga selain hafiz Al-Qur’an saat berumur 12 tahun, dia juga menguasai berbagai disiplin ilmu agama Islam, seperti ilmu nahu, sharaf, tauhid, fiqh, tafsir, mantig, dan lainnya.

Di usia 17 tahunan, Ahmad Sanusi mulai melanglang buana ke berbagai pesantren yang ada di wilayah Jawa Barat selama 4,5 tahun. Kemudian di tahun 1910 atau beberapa bulan setelah menikah dengan Siti Djuwariyah, Ahmad Sanusi beserta istri berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia beserta istri tidak langsung pulang ke kampung halaman, namun mereka bermukim di Makkah selama 5 tahun untuk memperdalam dan menambah wawasan keilmuan serta pengalaman dengan melakukan kontak baik kepada para ulama tingkat internasional maupun para tokoh pergerakan nasional yang sedang mukim di Makkah.

Sepulang dari Makkah pada Juli 1915, Ahmad Sanusi mengabdikan ilmunya di Pesantren Cantayan sekitar 6 tahun. Selanjutnya ia mendirikan pesantren Genteng yang dipimpin dan dikelola langsung olehnya sampai dengan tahun 1927 selama 6 tahun, lalu ia tinggalkan pesantren tersebut karena ditahan selama 15 bulan di penjara Cianjur dan Sukabumi serta di-internir(dibuang) ke Batavia Centrum selama 6 tahun. Ia lalu dipindahkan ke kota Sukabumi dengan status tahanan kota pada tahun 1934.

Pada tahun inilah Ahmad Sanusi mendirikan Pesantren Syamsul’Ulum Gunungpuyuh Sukabumi dan ia pimpin langsung selama 16 tahun dengan perincian 5 tahun masih dalam status tahanan kota dan 11 tahun sudah dalam status orang bebas.

Dikisahkan, pada Agustus 1927 dekat Pesantren Genteng, terjadi insiden perusakan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi, Bandung dan Bogor. Peristiwa ini kemudian dijadikan sebagai bukti Pemerintah Hindia Belanda untuk menangkap dan menahannya.

Pada 1939, keluar Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 3 tanggal 20 Februari 1939 yang ditandatangani oleh A.W.L. Tjarda. Isinya menyatakan mengakhiri masa tahanan kota Ahmad Sanusi. Sejak itu, Ahmad Sanusi menjadi orang bebas. Hikmahnya 15 bulan di penjara dan 11 tahunan di-internir(dibuang) dengan status tahanan kota, Ahmad Sanusi menjadi seorang penulis yang produktif. Tidak kurang dari 126 judul kitab yang ia tulis dari berbagai disiplin keilmuan.

Ahmad Sanusi juga aktif dalam berbagai lembaga dan kegiatan baik sebagai pendiri dan pelaku maupun sebagai pelaksana, di antaranya menjadi anggota BPUPKI, pengurus Jawa Hokokai (kebangkitan Jawa), pengurus Majelis Syuro’ Muslimin Indonesia (Masyumi), anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota Dewan Penasehat Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai), Wakil Residen Bogor (Fuku Syucokan), bahkan di wilayah Karesidenan Bogor (Bogor Syu), Ahmad Sanusi membidani lahirnya Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Badan Keamanan Rakyat (BKR), Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).

Ia juga ia menjadi instruktur pada pelatihan ulama yang diselenggarakan oleh pemerintah militer Jepang serta menjadi pendiri Pondok Pesantren Genteng, Pondok Pesantren Gunungpuyuh, organisasi underbouwAll, pendiri Gabungan Usaha-usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), dan lain-lain.

Ahmad Sanusi meninggal dunia pada 31 Juli 1950. Guna mengenang jasa-jasanya, Pemerintah Kota Sukabumi mengabadikan namanya menjadi nama salah satu jalan di Kota Sukabumi, yang menghubungkan antara jalan Cigunung sampai dengan Degung, yaitu Jalan K.H.A. Sanusi. Namanya juga diabadikan menjadi nama terminal tipe A di Jalan Jalur Lingkar Selatan yang berada di Kota Sukabumi. Oleh Presiden Soeharto, ia dianugerahi Bintang Maha Putra Utama pada 1996 dan Bintang Maha Putra Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006.[dbm]

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com