Karenanya, Gus Dur dan NU pada saat itu berada di garis depan dalam memperjuangkan demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. Gus Dur memperjuangkan hal ini tidak hanya melalui NU, namun terutama melalui penggalangan kekuatan demokrasi masyarakat sipil. Gus Dur bersama banyak tokoh membentuk Forum Demokrasi (Fordem) yang merupakan musuh terbesar rezim Suharto saat itu.

Gerakan Gus Dur ini mengantarkan kita pada reformasi 1998. Buah langsung dari reformasi 1998 yang paling penting adalah pelaksaan demokrasi langsung dalam pemilu kepala negara. Hal ini merupakan hasil pekerjaan yang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan Gus Dur dan NU saat itu pada sistem demokrasi yang lebih berkualitas.

Komitmen pada pilpres langsung terus dijaga baik oleh Gus Dur maupun oleh pemimpin-pemimpin NU berikutnya, termasuk Kiai Hasyim dan Kiai Said. Jika kemudian hal ini di-nasakh pada saat sekarang, maka sejatinya NU me-nasakh hasil kerja sendiri yang sudah sangat baik.

Selain itu, pertimbangan politik lainnya adalah bahwa pilpres melalui MPR juga akan memperkuat posisi kepemimpinan oligarkis karena yang akan berkuasa adalah sejumlah orang tertentu di MPR. Oligarki dalam pilpres sudah tentu bertentangan dengan misi dasar NU selama ini yang ingin memberikan kebebasan pada kaum nahliyyin untuk menggunakan hak politik mereka (political liberties) sebagaimana menjadi misi utama adanya khittah 1926.

Kenapa Tidak Sistem Parlementer Saja?

Jika NU serius ingin mengusulkan adanya perubahan pada sistem pemilu kepala negara, kenapa NU tidak mengusulkan hal yang mungkin lebih fundamental dan cocok tentang sistem pilpres dengan keadaan perpolitikan di Indonesia? Pilpres langsung digantikan dengan pilpres melalui MPR akan membutuhkan amandemen UUD yang selama ini banyak ditentang oleh banyak kalangan. Daripada tanggung, dalam pikiran saya, kenapa NU—atau kita—dalam hal ini tidak sekalian mengusulkan penggantian sistem presidensial kepada sistem parlementer saja?

Peralihan sistem presidensial ke parlementer ini akan menguntungkan NU. Pertama, modalitas sejarah secara historis NU pernah menjadi bagian penting dari sistem demokrasi parlementer pada masa lalu, meski pengalaman sejarah ini sudah banyak dilupakan oleh generasi muda NU zaman sekarang. Dalam Pemilu 1955, NU yang waktu itu adalah partai politik menjadi partai ketiga terbesar setelah PNI dan Masyumi dengan perolehan 18.4 %.

Kedua, melihat polah partai politik yang ingin menguasai jalannya kekuasaan secara langsung, maka sistem parlementer akan lebih cocok dengan gairah ini. Dalam sistem parlementer ini juga mungkin akan lebih menguntungkan NU sebagai ormas, bukan sebagai parpol—untuk mengusulkan dan menempatkan sebanyak mungkin dukungan kepada partai yang mungkin akan menang dalam Pemilu.

Sistem parlementer memungkinkan jarak NU dan kekuasaan akan lebih pendek dibandingkan dengan sistem presidensial. Wa allahu a’lamu bi al-shawab.(***)
Nb: Tulisan ini sudah dimuat di situs geotimes

 

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com