INDOPOLITIKA – Pemerintah bersama DPR RI resmi mengesahkan aturan baru yang memungkinkan umat Islam di Indonesia melaksanakan ibadah umrah mandiri tanpa harus melalui biro perjalanan resmi.

Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU).

Dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa perjalanan ibadah umrah dapat dilaksanakan melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), secara mandiri, atau melalui Menteri.

“Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan: a. melalui PPIU; b. secara mandiri; atau c. melalui Menteri,” demikian bunyi pasal tersebut yang dikutip pada Kamis (23/10/2025).

Pelaku Usaha Travel Umrah Kaget dengan Kebijakan Baru

Kebijakan ini menimbulkan reaksi keras dari para pelaku usaha perjalanan ibadah.

Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Zaky Zakaria Anshary, mengaku keputusan tersebut mengejutkan banyak pihak.

“Bagi ribuan pelaku PPIU dan PIHK yang telah berinvestasi besar, membayar pajak, menjalani audit, serta membuka lapangan kerja bagi jutaan orang, keputusan ini seperti petir di siang bolong,” ujarnya dalam keterangan pers.

Menurut Zaky, selama ini penyelenggaraan umrah selalu dijalankan oleh badan usaha resmi yang terakreditasi dan berada di bawah pengawasan pemerintah. Dengan perubahan aturan ini, jamaah kini dapat berangkat umrah tanpa pendampingan resmi dari PPIU.

Dampak Ekonomi dan Perlindungan Jamaah Jadi Kekhawatiran

Mengutip pernyataan Ketua Umum DPP Indonesia Congress and Convention Association (INCCA), Dr. Iqbal Alan Abdullah, Zaky menilai legalisasi umrah mandiri berpotensi menimbulkan dampak besar — mulai dari melemahnya perlindungan jamaah hingga terganggunya ekonomi umat.

Ia menjelaskan, sekitar 4,2 juta pekerja bergantung pada sektor haji dan umrah. Jika regulasi ini tidak diawasi secara ketat, perusahaan besar atau platform digital seperti Traveloka, Agoda, Tiket.com, bahkan platform luar negeri seperti Nusuk dan Maysan, bisa langsung menjual paket umrah kepada masyarakat Indonesia.

“Mereka memiliki modal besar dan strategi promosi agresif yang sulit disaingi oleh travel umrah berbasis umat. Jika dibiarkan, bukan hanya PPIU kecil yang terancam, tapi juga hotel syariah, katering halal, penerjemah, hingga penyedia jasa lokal bisa kehilangan mata pencaharian,” jelasnya.

Risiko Umrah Tanpa Pendampingan Resmi

Zaky juga mengingatkan pentingnya pembimbingan dalam ibadah umrah. Menurutnya, umrah bukan sekadar perjalanan wisata, tetapi ibadah yang memerlukan pemahaman fiqh dan pendampingan spiritual. Jamaah yang berangkat tanpa bimbingan berisiko melakukan kesalahan manasik, kehilangan kesiapan mental, bahkan menjadi korban penipuan.

Meski UU PIHU baru mencantumkan adanya sistem informasi kementerian dan penyedia layanan sebagai bentuk pengawasan, Zaky mempertanyakan kejelasan mekanismenya.

“Siapa yang dimaksud penyedia layanan? Apakah hanya PPIU berizin, atau termasuk marketplace global? Dan apakah sistem informasi kementerian itu hanya bersifat administratif, atau menjadi platform terbuka bagi perusahaan asing untuk menjual paket umrah?” ujarnya.

Jika kemungkinan terakhir yang terjadi, Zaky khawatir seluruh ekosistem umrah berbasis keumatan akan hancur.

“Kalau begitu, tamatlah ekosistem umrah berbasis keumatan,” tegasnya.(Hny)

Cek berita dan artikel menarik lainnya di Google News Indopolitika.com